Jumat, 06 November 2020

MIMPI INDAH

Akhirnya tiba juga pada situasi yang telah lama diimpikan oleh Rey untuk mengutarakan perasaannya yang sudah ia pendam selama setahun kepada Jelita. Jelita adalah teman sekelas Rey. Rey sudah naksir Jelita, semenjak ia kelas 1 SMK. Pada saat itu Rey masih belum memikirkan dan tertarik pada seorang wanita. Saat itu pikiran Rey adalah belajar dan belajar.

Namun setelah berjumpa dengan Jelita dan mulai mengenalnya, Rey mulai goyah pada tujuan utamanya yaitu belajar dengan sebaik mungkin di SMK. Rey perlahan-lahan mulai memiliki perasaan suka kepada Jelita, ketika mereka berdua mengerjakan tugas sekolah bersama.

Setahun berselang, perasaan Rey kepada Jelita masih tetap sama. Namun Rey masih takut untuk mengutarakan perasaannya tersebut, dikarenakan dia minder dengan fisiknya. Sebenarnya Rey memiliki wajah yang biasa-biasa saja tidak memiliki hal yang sangat spesial ataupun dibilang ganteng. Karena hal tersebut Rey menjadi ragu dan takut untuk mengutarakan perasaannya.

Namun tak disangka-sangka akhirnya tiba juga situasi dan suasana yang sangat mendukung untuk Rey mengutarakan perasaannya. Pada saat itu Rey dan Jelita sedang mengikuti kegiatan kemah terpadu yang diselenggarakan oleh sekolahnya. Walaupun masih dalam situasi pandemi yang terus naik, sekolahnya tetap menyelenggarakan program tahunan tersebut, dengan menerapkan protokol kesehatan seperti menggunakan masker dan mencuci tangan menggunakan sabun dan hand sanitizer.

Pada malam terakhir perkemahan, tepatnya pada malam api unggun. Rey melihat peluang untuk mengungkapkan perasaannya. Maka disusunlah rencana yang sangat mendadak, Rey meminta bantuan kepada teman perempuan Jelita, yaitu Dewi untuk mengajak Jelita ke belakang tenda. Di situlah Rey akan menembak Jelita.

Saat Dewi sedang mengajak Jelita ke belakang tenda. Rey sedang berlatih menyusun kata-kata yang akan dia sampaikan untuk kepada Jelita, dengan sebuah puisi singkat namun manis yang telah dibuatnya secara mendadak.

“Api itu merah, Malam itu gelap. Maka biarkanlah aku menjadi Lentera merah, untuk menerangi gelapnya palung-palung dalam di hatimu...” Ucap Rey berlatih membacakan puisi dadakannya tersebut.

Tibalah Jelita dihantar oleh temannya Dewi untuk menemui Rey.

“Hai Rey! Ada apa kau memanggilku kemari?” Jelita bertanya-tanya.

 “Sebelumnya aku minta maaf Jelita, aku mengajak kamu kesini untuk membicarakan sesuatu yang penting kepadamu. Tapi sebelum itu aku mau membacakan puisi singkat kepadamu. Bolehkan?”

“Boleh-boleh aja sih, tapi jangan lama-lama ya nanti ketahuan Kakak pembina gimana?Jawab Jelita dengan kekhawatiran di wajahnya.

“Tenang aja kok, ga bakal lama.” Rey tersenyum manis menenangkan Jelita. “Oke, aku mulai ya.” Ucap Rey bersemangat.

...

Malam ini begitu sepi dan sunyi

walaupun terdapat api unggun yang menyala

Yang memancarkan kehangatan dan ketenangan

Namun semua itu belum cukup untuk menghilangkan kesunyian

Jika api itu merah, dan malam itu gelap

Maka biarkanlah aku menjadi lentera merah

Untuk menerangi gelapnya palung-palung dalam, di hatimu.

Jika merahnya cintaku padamu belum cukup

maka bantulah aku untuk memadamkan api ini

...

Rey selesai membacakan puisinya.

“Maksudnya gimana Rey, aku masih engga ngerti?” Jelita mengerutkan keningnya, mencoba memahami apa yang disampaikan Rey melalui puisinya.

Ng.... Singkatnya aku mencintaimu.” Terang Rey kemudian. “Tapi... jika memang kamu tidak menyukaiku, maka tolonglah berhenti memberi harapan kepadaku.” Jelas Rey dengan mantap.

“Aduh gimana ini Rey, aku sebenarnya emang suka sama kamu tapi aku masih ragu untuk menjalin hubungan lagi.” Jelita sedikit berpikir keras.

“Jadi gimana? Iya atau tidak?.” Tegas Rey dengan ekspresi serius.

“Mungkin jawabannya IYA, Rey.Jawab Jelita, dengan aksen tegas di kata “Iya”. Wajah cantiknya tersipu merah.

 “Really?! Kamu yakin?!.” Rey sumringah, tak percaya.

“Aku yakin Rey, soalnya aku emang udah lama suka sama kamu. Tapi aku bingung dan ragu untuk ungkapin perasaan aku ke kamu.” Jelas Jelita

“Apa?! Jadi sekarang kita resmi berpacaran? Jadi sekarang kamu adalah pacar ku?!” Rey mengeraskan suaranya dengan nada senang.

Suara Rey tersebut mengundang perhatian Kakak Pembina yang sedang berpatroli dari tenda ke tenda. Rey dan Jelita yang sedang berduaan terlihat oleh sepasang mata sang kakak pembina.

“Hey kalian berdua, sedang ngapain?!” teriak Kakak pembina  tersebut membuat keduanya tersentak.

Rey kebingungan, sampai-sampai dia secepat kilat membuka matanya, terbangun dari mimpinya. Dia mengatur nafas dan mendapati dirinya terbangun di depan komputernya sendiri, dengan monitor yang menyala.

 

“Sebuah mimpi?” Gumam Rey pelan, mengusap wajahnya sendiri.

 

 

-            End.

 

Karya Wisnu Ade Putra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar