Akhirnya tiba
juga pada situasi yang telah lama
diimpikan oleh Rey untuk mengutarakan perasaannya yang sudah ia pendam selama
setahun kepada Jelita. Jelita adalah teman sekelas Rey. Rey sudah naksir
Jelita, semenjak ia kelas 1 SMK. Pada saat itu Rey masih belum memikirkan dan
tertarik pada seorang wanita. Saat itu
pikiran Rey adalah belajar dan belajar.
Namun setelah
berjumpa dengan Jelita dan mulai mengenalnya, Rey mulai goyah pada tujuan
utamanya yaitu belajar dengan sebaik mungkin di SMK. Rey perlahan-lahan mulai
memiliki perasaan suka kepada Jelita, ketika mereka berdua mengerjakan tugas
sekolah bersama.
Setahun berselang, perasaan Rey kepada
Jelita masih tetap sama. Namun Rey masih takut untuk mengutarakan perasaannya
tersebut, dikarenakan dia minder dengan fisiknya. Sebenarnya Rey memiliki wajah
yang biasa-biasa saja tidak memiliki hal yang sangat spesial ataupun dibilang
ganteng.
Karena hal tersebut Rey menjadi ragu dan takut untuk mengutarakan perasaannya.
Namun tak
disangka-sangka akhirnya tiba juga situasi dan suasana yang sangat mendukung
untuk Rey mengutarakan perasaannya. Pada saat itu Rey dan Jelita sedang
mengikuti kegiatan kemah terpadu yang diselenggarakan oleh sekolahnya. Walaupun masih dalam situasi
pandemi yang terus naik, sekolahnya tetap menyelenggarakan program tahunan
tersebut, dengan menerapkan protokol kesehatan seperti menggunakan masker dan
mencuci tangan menggunakan sabun dan hand sanitizer.
Pada malam
terakhir perkemahan,
tepatnya pada malam api unggun. Rey melihat peluang untuk mengungkapkan
perasaannya. Maka
disusunlah rencana yang sangat mendadak, Rey meminta bantuan kepada teman
perempuan Jelita,
yaitu Dewi untuk mengajak Jelita ke belakang tenda. Di situlah Rey akan menembak Jelita.
Saat Dewi
sedang mengajak Jelita ke belakang tenda. Rey sedang berlatih
menyusun kata-kata yang akan dia sampaikan untuk kepada Jelita, dengan sebuah puisi
singkat namun manis yang
telah dibuatnya secara mendadak.
“Api itu merah,
Malam itu gelap. Maka biarkanlah aku menjadi Lentera merah, untuk menerangi
gelapnya palung-palung dalam di hatimu...” Ucap Rey berlatih membacakan
puisi dadakannya tersebut.
Tibalah
Jelita dihantar oleh temannya Dewi untuk menemui Rey.
“Hai
Rey! Ada apa kau memanggilku kemari?” Jelita bertanya-tanya.
“Sebelumnya
aku minta maaf Jelita, aku mengajak kamu kesini untuk membicarakan sesuatu yang penting kepadamu. Tapi
sebelum itu aku mau membacakan puisi singkat kepadamu. Bolehkan?”
“Boleh-boleh
aja sih, tapi jangan lama-lama ya nanti ketahuan Kakak pembina gimana?” Jawab Jelita
dengan kekhawatiran di wajahnya.
“Tenang
aja kok,
ga bakal
lama.” Rey tersenyum manis menenangkan Jelita. “Oke, aku mulai ya.” Ucap
Rey bersemangat.
...
Malam
ini begitu sepi dan sunyi
walaupun
terdapat api unggun yang menyala
Yang
memancarkan kehangatan dan ketenangan
Namun
semua itu belum cukup untuk menghilangkan kesunyian
Jika
api itu
merah, dan malam itu gelap
Maka
biarkanlah aku menjadi lentera merah
Untuk
menerangi gelapnya palung-palung dalam, di hatimu.
Jika
merahnya cintaku padamu belum cukup
maka
bantulah aku untuk memadamkan api ini
...
Rey selesai membacakan puisinya.
“Maksudnya
gimana Rey, aku masih engga ngerti?” Jelita mengerutkan keningnya,
mencoba memahami apa yang disampaikan Rey melalui puisinya.
“Ng....
Singkatnya aku
mencintaimu.” Terang Rey kemudian. “Tapi... jika memang kamu tidak menyukaiku, maka
tolonglah berhenti memberi harapan kepadaku.” Jelas Rey dengan mantap.
“Aduh gimana
ini Rey, aku sebenarnya emang suka sama kamu tapi aku masih ragu untuk menjalin
hubungan lagi.” Jelita sedikit berpikir keras.
“Jadi
gimana? Iya atau tidak?.” Tegas Rey dengan ekspresi serius.
“Mungkin
jawabannya IYA, Rey.” Jawab Jelita,
dengan aksen tegas di kata “Iya”. Wajah cantiknya tersipu merah.
“Really?! Kamu yakin?!.” Rey
sumringah, tak percaya.
“Aku yakin Rey,
soalnya aku emang udah lama suka sama kamu. Tapi aku bingung dan ragu untuk
ungkapin perasaan aku ke kamu.” Jelas Jelita
“Apa?! Jadi
sekarang kita resmi berpacaran? Jadi sekarang kamu adalah pacar ku?!” Rey
mengeraskan suaranya dengan nada senang.
Suara Rey
tersebut mengundang perhatian Kakak
Pembina yang sedang berpatroli dari tenda ke tenda. Rey dan Jelita yang sedang berduaan terlihat
oleh sepasang mata sang kakak
pembina.
“Hey
kalian berdua,
sedang ngapain?!”
teriak Kakak
pembina tersebut
membuat keduanya tersentak.
Rey
kebingungan, sampai-sampai dia secepat kilat membuka matanya, terbangun dari mimpinya. Dia mengatur
nafas dan mendapati
dirinya terbangun di
depan komputernya sendiri, dengan monitor yang menyala.
“Sebuah mimpi?” Gumam Rey pelan, mengusap wajahnya
sendiri.
-
End.
Karya Wisnu
Ade Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar